RI Jadi Juru Damai Konflik Libya – Berita Terbaru, Melihat situasi perkembangan yang terjadi di Libya yang masih berada dalam suasana ketegangan, Indonesia dinilai memiliki banyak peluang untuk menjadi juru damai Krisis Libya. Indonesia terpilih karena dinilai dalam peta politik diplomasi saat ini, Indonesia berada pada posisi yang bisa diterima oleh semua pihak yang bertikai. Sementara posisi seperti itu tidak dimiliki oleh negara lain. Mengenai kendala yang akan dihadapi pasti ada. Soal berhasil, belum bisa dipastikan namun kendala terbesar berada pada pihak Indonesia sendiri. Apakah Indonesia akan memanfaatkan peluang ini atau tidak? Keberhasilan tidak akan dapat diketahui selama kita belum mencoba.
Secara garis besar pihak yang terlibat dalam Konflik Libya terdiri atas tiga kubu, yakni Presiden Moamar Khadafy, para pemberontak atau kelompok oposisi yang menghendaki lengsernya Khadafy dan NATO. Ini berarti yang harus diyakinkan dan diajak bicara oleh Indonesia adalah ketiga pihak yang disebutkan di atas. Berbicara dengan Presiden Khadafy rasanya tidak sulit. Sebab Indonesia dan Libya punya hubungan diplomatik. Indonesia punya Duta Besar di Tripoli dan Libya juga punya Dubes di Jakarta.
Dari segi pribadi, Presiden Khadafy dan Presiden SBY pernah bertemu pada 2003 di Tripoli. Ketika itu SBY ke Tripoli dalam kapasitas selaku Menko Polkam mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri. Sehingga ada alasan untuk menghangatkan kembali pertemuan yang pernah terjadi 8 tahun lalu antara presiden kedua negara.
Persamaan lainnya, dalam soal agama. Indonesia dan Libya sama-sama menjadi anggota dari Organisasi Konperensi Islam (OKI). Selain itu Indonesia merupakan penduduk terbesar keempat di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Faktor kesamaan agama ini penting bagi Khadafy.
Di luar OKI, Indonesia dan Libya juga sama-sama anggota Gerakan Non Blok (GNB). Bahkan bagi Libya, GNB merupakan salah satu forum penting yang mendekatkannya dengan Indonesia. Sebab hampir semua negara bekas jajahan di Afrika terinspirasi merdeka oleh karena GNB, gerakan lintas benua yang digerakkan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno. Kalau mau sedikit bereksperimen, untuk berunding dengan Khadafy, pemerintah Indonesia dapat mengutus putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri.
Untuk mendekati kalangan oposisi, juga tidak akan ada kesulitan. Terutama apabila memang benar oposisi Libya didukung Iran. Ini berarti Indonesia harus meminta jasa baik Iran. Pemerintah bisa memanfaatkan jalur Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk berunding dengan Iran. Pekerjaan yang agak sulit, mendekati NATO. Tapi seperti sebuah kebetulan. Dua minggu lalu Presiden Turki Abdullah Gull pernah mengangkat persoalan Libya ketika ia bertemu Presiden SBY di Jakarta.
Dengan begitu Indonesia bisa memanfaatkan jasa Turki sebagai anggota NATO untuk meyakinkan agar koalisi 28 negara itu, memberi kepercayaan kepada Indonesia menjadi mediator. Peran NATO sendiri sangat penting. Sebab NATO-lah yang mengatur kendali penyerangan Libya dengan roket, misil dan bom. Pada 19 April lalu, tepat satu bulan resolusi PBB yang memberi sanksi kepada Libya, Menlu Rusia, telah mengeritik NATO. Menurut Rusia, NATO telah melakukan pelanggaran atas resolusi PBB. Pernyataan Menlu Rusia ini bisa dijadikan pintu masuk.
“Mandat yang diberikan PBB hanyalah untuk memberi perlindungan kepada warga sipil. Tapi tidak ada mandat untuk menggulingkan Khadafy,” kata Menlu Rusia. Dengan pernyataan itu, untuk membantu peran mediasi Indonesia, diplomat kita tinggal meminta agar masalah Krisis Libya sebaiknya dikembalikan lagi ke Dewan Keamanan PBB. Jika ini terjadi, NATO otomatis harus menghentikan serangan militernya ke Libya.
Dari sini terlihat jelas. Jalan dan pintu yang harus dilalui cukup terbuka. Tinggal tergantung diplomat Indonesia untuk melakukan diplomasi secara lincah. Sebab di atas kertas, tidak sulit meyakinkan para pihak yang bertikai bahwa berunding dan berdamai merupakan solusi terbaik. Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, Indonesia sejatinya sangat berkepentingan agar Konflik Libya berakhir.
Sebab sekalipun Indonesia tidak terlibat, tetapi akibat Konflik Libya, sejumlah proyek Indonesia di sana terpaksa dihentikan. Padahal nilai proyek tersebut mencapai ratusan miliar rupiah. Soal berhasil atau tidak, jangan dulu terlalu dirisaukan. Yang pasti menjadi juru damai dalam Konflik Libya pasti jauh lebih bergengsi dari pada memainkan peran yang sama dalam konflik Thailand dan Kamboja.
Facebook comments: